NAMA : MOCHAMMAD IKHSAN
NO AB : 15
ALAMAT : DESA SLUMBUNG KEC.NGADILUWIH KAB.KEDIRI
ASAL SEKOLAH : SDN SLUMBUNG
Kisah Persik Kediri dalam Sejarah Sepakbola Indonesia
Jika kita memandang sejarah persepakbolaan nasional, ada cerita membanggakan sekaligus mengharukan dari sebuah kesebelasan. Bak roda yang berputar dari posisi yang semula di atas, menuju poros yang paling bawah. Kini poros itu sedikit demi sedikit menuju ke atas (lagi). Itulah yang dialami oleh Persik Kediri.
Penggemar sepakbola Indonesia awal 2003-an sepertinya mengenal kesebelasan dari Jawa Timur ini. Mereka adalah kesebelasan dari kota kecil yang berjarak 120 kilometer dari Surabaya. Menjadi juara di kompetisi Divisi Satu 2002 dan promosi ke Divisi Utama pada 2003, banyak yang menyangsikan Macan Putih –julukan Persik– dapat berbuat banyak di kompetisi yang dulu bernama Liga Bank Mandiri itu.
Nama-nama seperti Bobby Manuel, Wawan Widiantoro, Khusnul Yuli, Ebi Sukore, Harianto, Musikan, sampai kiper legendaris, Wahyudi, dianggap tak mampu membawa Persik bertahan lama di kompetisi tertinggi Indonesia. Mereka bukan lawan yang sepadan bagi Bambang Pamungkas di Persija Jakarta, Ilham Jayakesuma di Persita Tangerang, ataupun duet mematikan milik PSM Makassar, Cristian Gonzales dan Oscar Aravena.
Liga Bank Mandiri pun dimulai di awal tahun. Kala itu Persik bertandang ke markas Barito Putera pada 12 Januari 2003. Berstatus sebagai tim promosi, Persik sanggup menahan imbang Barito dengan skor 2-2 lewat gol Musikan dan Wawan Widiantoro. Awalan yang bagus untuk tim gurem sekelas Persik saat itu.
Pertandingan demi pertandingan dilalui Persik. Sejak awal musim, tak ada yang menyangka Macan Putih bisa menjadi juara, termasuk suporter tuan rumah yang datang ke Brawijaya di pertandingan terakhir lawan Persikota, yang dimenangkan Persik dengan skor 3-0. Sampai pada akhirnya klub kebanggaan masyarakat Kediri ini menjuarai kompetisi tertinggi sepakbola Indonesia.
Bahkan pelatih mereka sendiri, Jaya Hartono, tidak percaya kalau kesebelasannya bisa menjadi juara. “Kami ini tim kampung, bukan saingan tim besar seperti Persija, PSM, Persita,” kata Jaya dikutip Four Four Two.
Stadion Brawijaya sudah penuh sesak sejak beberapa jam sebelum kick off. Tribun yang berkapasitas kurang lebih 15 ribu penonton tidak sanggup menampung suporter dari dalam maupun luar wilayah Kediri. Suporter Persik memang tidak hanya berasal dari Kediri saja saat itu. Banyak yang datang dari kota tetangga, seperti Nganjuk, Blitar, Tulungagung, bahkan sampai perbatasan Malang.
Mungkin tahun 2003 menjadi saksi tentang kesebelasan yang berangkat dari tim promosi tapi langsung menjadi juara di kompetisi liga selanjutnya. Sejarah dunia mana yang mencatat demikian, selain Persik Kediri?
Tidak hanya menjadi juara, penghargaan lain bermunculan, seperti Musikan yang dianugerahi menjadi pemain terbaik. Jaya Hartono juga dinyatakan sebagai pelatih terbaik selama menukangi Persik selama semusim. Striker andalan mereka, Bamidelle Frank Bob Manuel (Bobby Manuel) hanya selisih dua gol dari top skor, Oscar Aravena (PSM).
Cerita pun berlanjut. Di musim selanjutnya, mereka harus ikut Liga Champions Asia 2004. Kedatangan Hamka Hamzah dan Berta Yuana Putra membuat tim semakin kuat kala itu, meskipun harus kehilangan gelandang cerdik mereka, Ebi Sukore. Sayangnya, kedigdayaan Persik tidak berlanjut di musim selanjutnya ketika hanya menempati posisi kesembilan.
Di Liga Champions Asia pun mereka gagal lolos dari fase grup. Yang perlu dicatat, mereka pernah kalah 0-15 saat bertandang ke Korea Selatan menghadapi Seongnam Ilwa Chunma. Lagi-lagi Persik membuat sejarah yang sulit diukir oleh tim lain, walau sejarah memalukan tentunya. Kalah dengan margin 15 angka bukan hasil yang normal di kompetisi sekelas Liga Champions Asia.
Musim 2005 sampai 2006 merupakan angin segar bagi Persik. Pada 2005, mereka kedatangan striker haus gol dari PSM, Cristian Gonzales. Musim berikutnya, Persik kedatangan tandem Gonzales di PSM, Ronald Fagundez, dan Danilo Fernando dari Persebaya.
Ketiganya akhirnya menjadi ikon Persik. Bersama Budi Sudarsono, orang-orang mengingat bahwa masa kejayaan Persik saat mereka berempat berkostum Macan Putih. Mereka bergabung di satu skuat yang membawa Persik juara Liga Indonesia kedua kalinya pada 2006 ketika dilatih Daniel Roekito.
Persik mengalahkan PSIS Semarang lewat gol Gonzales yang menerima asis “Si Anak Hilang”, Ebi Sukore, di babak perpanjangan waktu. Emmanuel De Porras, Gustavo Hernan Ortiz, Khusnul Yakin, sampai kiper I Komang Putra, dibuat tertunduk di Manahan Solo saat itu. Persik juara kedua kalinya. Gonzales menjadi top skor selama tiga musim berturut-turut.
Kejayaan Persik belum berakhir setelah juara kedua kalinya. Musim 2008/2009, Macan Putih kembali diunggulkan untuk menjadi kampiun setelah beberapa pemain andalan PSMS Medan bergabung ke Kota Tahu. Mereka adalah Saktiawan Sinaga, Usep Munandar, Markus Horizon, dan Legimin Rahardjo, ditambah M. Robby dari Persija. Namun nahas, mereka hanya menempati peringkat keempat di akhir musim. Persipura menjadi juara.
Singkat cerita, kisah klise pun dimulai. Sepakbola memang tidak jauh-jauh dengan urusan politik. Manajer mereka sejak 2002, Iwan Budianto, ditarik menjadi anggota Exco PSSI pada 2007. Entah apa tujuan adanya penarikan itu. Yang jelas, selama itu, Iwan juga mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Walikota Kediri untuk periode 2009-2014.
Iwan kalah. Seseorang yang membawa tim semenjana menjadi tim sepakbola yang ditakuti di Indonesia, harus rela “tidak dicintai” oleh masyarakatnya sendiri lewat jalur demokrasi. Harusnya Iwan tidak takut untuk kalah saat itu, karena membawa Persik melambung tinggi, tapi hasil Pemilu Walikota Kediri berkata lain.
Meski ditunjuk sebagai anggota Exco sejak 2007, Iwan baru mengatakan mundur pada 2009, tepatnya setelah laga melawan Persija (05/05/2009). Alasan menjadi Exco merupakan alasan yang masuk akal saat itu.
Pada periode itu, Persik berubah menjadi tim pesakitan. Ditambah lagi muncul kebijakan dana APBD tidak boleh digunakan lagi untuk membiayai tim sepakbola. Wajar saja, Persik bisa juara dua kali karena dana APBD yang tak kurang-kurang. Walikota Kediri saat itu, H. Ahmad Maschut, sangat pro terhadap Persik. Persikmania menyebutnya sebagai “Bapaknya Macan Putih”.
Sepeninggal Iwan dan Maschut sebagai walikota (digantikan dengan Samsul Ashar), Persik terseok-seok dan secara bertahap ditinggal para pemain bintangnya. Mereka akhirnya terdegradasi pada 2009 setelah hanya mampu menempati peringkat ke-16.
Meski sempat bisa promosi lagi ke divisi tertinggi, Persik dinyatakan tak lolos verifikasi untuk mengikuti Indonesia Super League 2015. Sampai pada akhirnya, mereka terjun bebas ke Divisi 3 pada 2017; sebuah pukulan telak bagi sang juara dua kali Liga Indonesia.
Kini, tampaknya ada angin segar berhembus di jantung masyarakat Kediri. Persik sedang mengukir sejarah baru. Status mereka adalah juara Liga 3, setelah mampu menang atas PSCS Cilacap dengan agregat 3-2. Persik yang sekarang banyak dihuni pemain-pemain muda akademi. Mereka sedang berusaha merangkak ke atas seperti Persik yang dikenal pada masa kejayaannya.
Manajemen Persik punya pekerjaan rumah yang besar. Keinginan Cyber Xtreme dan Persikmania (sebutan fans Persik) agar manajemen segera mengurus legalitas klub, bersedia membuka diri ke investor, dan mengakui peran suporter dalam sepak terjang klub.
Tentunya fans sepakbola Indonesia rindu melihat pemain seperti Danilo, Gonzales, dan Fagundez, bermain bersama dalam satu tim. Era itu hanya ada saat kejayaan Persik Kediri. Sekarang harapan itu masih ada dan sedang diperjuangkan.
Harapan itu juga ada pada sosok Septian Bagaskara, pemuda kelahiran Kediri. Pernah menimba ilmu di Old Trafford pada 2015, top skor Liga 3 2018, serta ia sekarang sedang dipanggil coach Indra Sjafri untuk seleksi di timnas U-22.
foto: Instagram Persik Official
*Penulis lahir di Kediri, Kuliah di Yogyakarta, Kerja di Jakarta. Bisa dihubungi lewat akun Twitter di @nrmlmaulana
**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.